Cari Blog Ini

PENGOBATAN TRADISIONAL KEMASAN MODERN

PENGOBATAN TRADISIONAL KEMASAN MODERN

Oleh : Dwi Suprabowo


Kategori tradisional dan modern di masa globalisasi ini sama sekali tidak ada sekat lagi di antara keduanya. Masing-masing dapat menempatkan diri di posisi tradisional maupun modern. Seperti dalam bidang pengobatan. Pengobatan tradisional dapat dipergunakan di masa modern. Menghubungkan pengobatan tradisional dengan sastra lisan maka peneliti akan mencoba merangkainya.

Sastra lisan adalah sastra yang berbentuk tuturan atau lisan. Sastra lisan sendiri merupakan sub-kategori dari folklor. Foklor sendiri merupakan bahasa serapan dari bahasa Inggris. Secara etimologi mengandung arti; folk = sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan (rakyat); dan lore = tradisi dari folk (rakyat) yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memonic device).[i]
Bentuk-bentuk folklor sendiri ada beberapa macam. Menurut Jan Harold Brunvand, folklor terbagi atas tiga bentuk folklor yang tiap bentuk memiliki kategorinya masing-masing, yaitu: Folklor Lisan (verbal folklore); Folklor sebagian Lisan (partly verbal folklore); dan Folklor bukan Lisan (non verbal folklore).[ii] Bentuk yang pertama yakni folklor lisan adalah folklor yang bentuknya (form) memang murni lisan yang diri atas bahasa rakyat, ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, dan pemeo), pernyataan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, gurindam, dan syair), cerita prosa rakyat (mite, legenda, dan dongeng), dan nyanyian rakyat.
Bentuk kedua yang berupa folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Contoh dari folklor sebagian lisan meliputi kepercayaan rakyat (yang sering disebut oleh orang ‘modern’ disebut takhayul). Adapun selain dari kepercayaan rakyat ada yang namanya permainan rakyat, teater rakyat (tradisi), tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain sebagainya.
Bentuk terakhir yang merupakan fokllor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk folklor ini dapat terbagi lagi menjadi dua sub-bentuk, yakni yang material dan yang bukan material. sub-bentuk material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah, lumbung padi,dsb), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang berbentuk non-material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat komunikasi (kentongan tanda bahaya di Jawa atau genderang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat.
Kembali lagi pada objek pembahasan, dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengobatan tradisional masuk dalam folklor dalam bentuk bukan lisan yang material. Pengobatan tradisional memiliki banyak bentuknya. Kita semua pasti pernah mengenal istilah ‘pijat’, ‘akupuntur’, ‘totok’, ‘kop’, ‘kerok’, ‘urut’, dan ‘jamu’ dalam kehidupan bermasyarakat yang merupakan bentuk-bentuk pengobatan tradisional. Di indonesia perkembangan pengobatan tradisional lebih kepada dua jenis pengobatan, yakni pijat-urut dan ramuan kuno. Peneliti mengarahkan pembahasan lebih kepada ramuan kuno.
Ramuan kuno dalam tataran keilmuan disebut herbalisme. Herbalisme adalah ilmu ramuan tradisional yang berorientasi kepada LOGIKA MEDIK (nalar kesehatan) dan seluruh bahannya berasal dari tumbuh-tumbuhan atau benda-benda alamiah serta tidak menggunakan bahan kimia.[iii] Ramuan tradisional ini disampaikan secara turun-temurun dan merupakan warisan budaya. Keuntungan penggunaan ramuan tradisional adalah harga relatif murah, tidak ada efek samping, membudayakan tumbuh-tumbuhan alami yang mengandung obat, dan Melestarikan peninggalan nenek moyang kita.
Peneliti memiliki pengalaman masa kecil mengenai persinggungan dengan ramuan atau pengobatan tradisional. Waktu kecil peneliti pernah ‘di-cekok-in’ agar nafsu makannya meningkat. ‘cekok’ adalah aktifitas yang dilakukan oleh seorang ibu yang memiliki anak dengan nafsu makannya kurang, lalu sang ibu membuat ramu-ramuan yang ditumbuk dan dibungkus kain lalu sedikit diberi air, perasan air yang bercampur tumbukan ramuan diteteskan pada mulut anaknya. Peneliti masih bisa mengingat rasanya, sangat pahit.
Awalnya peneliti merasa bahwa pada saat dewasa nanti ramuan tradisional akan segera ditinggalkan oleh masyarakatnya. Persepsi ini muncul karena semakin dewasa peneliti sudah jarang menemukan pengobatan tradisional (ramuan tradisional maupun pijat-urut) dalam upaya penyembuhan dan pemulihan tubuh di dalam keluarga peneliti sendiri. Alasan lainnya karena konstruksi jamu (pengobatan tradisional) atau hal-hal berbau tradisi/ ketradisionalan bagi masyarakat yang sudah ‘tercemari’ oleh arus modernisasi, westernisasi, Amerikanisasi, dan globalisasi, sehingga membuat hal-hal yang berbau tradisi itu terkonstruksi sebagai hal kuno, norak, kampungan, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, kolot, konservatif, ortodok, dan lain-lain. Pada akhirnya peneliti beranggapan bahwa inilah ajal dari salah satu folklor bukan lisan, obat-obatan tradisional, yang terhimpit oleh kemunculan produk modern yaitu obat modern yang berbentuk tablet, pil, kapsul, puyer, dan cair.
Persaingan ini muncul berawal dari masa industrialisasi yang dibawa oleh koloni Barat (bisa disebut juga dengan masa kolonial) adalah obat-obatan yang waktu penggunaannya lebih lama dari pengobatan tradisional karena agar obat tersebut tidak kadaluarsa dengan cepat atau bisa dikatakan awet. Agar lebih lama masa kadaluarsanya maka obat-obat Barat tersebut dipergunakan zat-zat kimia agar lebih tahan lama. Pada masa surutnya pamor pengobatan tradisi diakibatkan ketenaran obat-obat tablet dan kapsul yang dibawa bangsa Barat meningkat. Obat-obat modern (peneliti menyebut obat-obat tablet dan kapsul tersebut) lebih praktis dan tahan lama, serta mudah pembuatan dan penyajiannya. Sedang obat tradisional bagi masyarakat modern dianggap susah dicari bahan-bahannya, diracik, dan disajikan. Terlebih daya tahan obat tradisional tidak lama, mungkin hanya hitungan hari saja.
Pada akhirnya waktu yang menjawabnya, karena persepsi peneliti saat masih kecil (kira-kira pada saat peneliti sekolah SD) dapat terbantahkan. Hal ini dikarenakan ternyata ada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)/ Swasta menjadikan jamu sebagai komoditas ekspor dan pada akhirnya dapat ikut bersaing dalam pasar dunia pengobatan. Peneliti mengambil dua perusahaan pengobatan jamu, yaitu Sido Muncul dan Nyonya Meneer, sebagai contoh perusahaan jamu yang berbasis teknologi dan modernitas.
Perusahaan Sido Muncul awalnya adalah industri rumahan yang didirikan oleh Ny. Rachmat Sulistio pada tahun 1940, namun setelah memasuki era modernisasi dan Ny. Rachmat mau mengikuti arus yang bergerak dalam masa tersebut maka perusahaannya maju pesat. Hingga pada tahun 2000 mereka meresmikan pabrik barunya di Ungaran, Semarang, dan pada saat yang sama perusahaan ini mendapatkan dua penghargaan dari pemerintah, yaitu: Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Sehingga membuat perusahaan ini menjadi satu-satunya produsen jamu tradisional bersrandar farmasi.[iv]
Adapun perusahaan Nyonya Meneer lebih dulu didirikan, yaitu sejak tahun 1919. Perusahaan jamu terbesar di Indonesia ini awalnya adalah bukan merupakan suatu usaha untuk mencari keuntungan, tetapi lebih kepada membantu orang yang sakit dengan jamunya. Hal ini dikarenakan dulu suami Ny. Meneer sedang sakit keras dan sudah mencoba beberapa pengobatan farmasi, namun sia-sia. Akhirnya Ny. Meneer membuat ramu-ramuan Jawa yang diwariskan oleh ibunya, dan hasilnya adalah suaminya sembuh. Berbeda dengan perusahaan jamu Sido Moncul, perusahaan Nyonya Meneer mengalami kegoyahan saat berada di generasi ketiga keluarga Ny. Meneer, karena cucu-cucunya saling berebut dan kontra. Padahal pada generasi pertama dan kedua perusahaan Nyonya Meneer berada pada masa jayanya.[v]
Dari dua sempel LSM yang menggunakan jamu sebagai komoditas profit ini dapat dilihat bahwa bentuk-bentuk modernitas, Amerikanitas, Westernitas, maupun Globalitas dapat menghasilkan poin positif maupun negatif. Jika dilihat dari ketakutan bahwa kekuatan modernitas akan mengikis semangat tradisional dapat terbantahkan dengan keberadaan dua contoh LSM ini. Tetapi tinggal bagaimana pihak yang berkutat tersebut dapat memanfaatkan arus mainsteam yang bermain. Contoh penting lain lagi adalah dari kedua LSM tersebut hanya Sido Muncul saja yang dapat menghilangkan konstruksi “negatif” yang menempel dari bentuk kekolotan tradisional dengan kemasan iklan. Pengertian mudahnya adalah perusahaan Sido Muncul dapat memanfaatkan media untuk keunggulan dalam pemasarannya. Sama halnya konsep pokok dalam Relasi Kuasa, adalah ketika kemunculan ‘uang’ (materi/kapitalis) dapat menyaingi kekuasaan pusat (kekuasaan inti/ dalam konteks negara adalah pemerintah itu sendiri). Kembali pada tataran identitas, jadi ketika unsur-unsur yang berbau ketradisionalan akan menjadi negatif ketika kita menganggapnya negatif, sedangkan kalau kita menganggapnya positif makan mereka akan menjelma menjadi positif.
  




                [i] James Danandjaja. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hlm.1.
                [ii] Ibid. Hlm.21-22.
                [iii] Agus Ibnu ‘Ibad. 2002. Keterampilan Khusus: di Bidang Pengobatan dan Perawatan Kecantikan Secara Tradisional. Salatiga:Hasil Karya Putra Nusantara (HKPN). Hlm.3.

Posting Komentar

mohon diapresiasi..

Copyright © Jemari-Jerami. Designed by OddThemes