PERCAKAPAN
MAYA
*
Malam merajangku dalam dandang dunia
layang-layang. Di temaramnya tempat aku terjaga sekarang, di depan layar
kristal cair berukuran 14 inchi, ditemani segelas klorofil aku menjajaki sebuah
hubungan. Hubungan yang nyata namun tidak masuk secara konvensi rasional dengan
gadis di seberang entah di mana. Aurel namanya.
Nama itu selalu mengusik
malam-malamku, hingga aku lebih sering terjaga dan membuat hidup normalku
menjadi tidak teratur lagi. Hal ini sudah hampir 3 bulan lamanya terjadi. Namun
tetap membuat kumerasakan sebuah kenikmatan dalam penelusuran tanpa ujung di
masa istirah tubuh-tubuh mekanis pada suatu struktur dunia kerja.
Aktifitas dalam keseharianku sebagai
pekerja di sebuah institusi pemerintah, dinas pajak lebih tepatnya. Namun
jangan dikira bahwa aku pekerja tingkat atas, aku hanya pekerja tidak tetap
yang disalurkan oleh perusahaan jasa tenaga. Aku hanya menjadi buruh pembukuan
yang disalurkan oleh perusahaan jasa di institusi pemerintah di bidang pajak.
Upah yang kudapat yang seharusnya penuh dari institusi tersebut harus dipotong
oleh perusahaan jasa yang menyalurkanku. Bagai barang saja aku ini, yang hanya
difungsikan sebagai alat oleh perusahaan yang mengatasnamakan jasa di dalamnya.
Tak ubahnya aku kembali menjadi budak. Ah, terlalu keji istilah yang aku pakai
ini, tetapi mungkin itu murni yang dirasakan oleh hatiku. Oh iya mungkin lebih
tepat dan halusnya sebagai piranti yang diprogram satu fungsi.
Alhasil malamlah kujadikan waktu untuk
memanusiakan kembali tubuhku. Sambil merebahkan tubuh, aku mulai berplesir di
dunia metarealita yang sangat nyata. Terutama Aurel yang selalu menemaniku.
Selalu jika kita saling hidup di dunia maya, masing-masing di antara kita akan
menuliskan, “ada orangkah di sana?”. Dan pastilah antara aku dan dia akan
menjawab, “cari tahulah sendiri.”.
Dalam pencaritahuan keberadaan orang
di seberang dunia sana, aku mulai melancarkan pertanyaan-pertanyaan dari yang
masuk akal sampai hal-hal yang mengusik ketenangan. Tetapi dia tidak memberi
reaksi untuk memutus komunikasi, malah memberi celah untuk kumasuki dengan
lamban. Ya atau bahkan seperti mengisyaratkan agar aku melakukan trik-trik
pendekatan yang lebih gencar lagi.
**
Berawal dari apa ya cakapan ini bisa
terjadi? Aku hampir saja lupa, padahal masih dapat terhitung dengan jari bulan
yang terus berganti. Jika hubungan ini seperti sebuah hubungan konvensional,
yang lebih mengutamakan bobot mata bertemu mata, mungkin aku dan dia sudah
menjadi sepasang kekasih yang saling melempar secara acak mata air cinta, yang
telah lama dinanti untuk melepas dahaga. Tapi sayangnya hanya sebuah layar di
masing-masing kita yang menjadi perantara untuk menelusupkan sebuah pita merah
muda di hati satu sama lainnya.
Setiap malam kami saling tegur sapa.
Ah iya! Tegur sapa di tiap malamnya, dan seakan-akan memang tiap malam kami
baru saling bertemu. Di dunia maya tentunya.
Aku selalu mentik “halo!” dari tiap
awalan komunikasi ini di tiap malamnya. Lalu ia pun hampir selalu menjawab
tulisanku dengan “Hai!”. Entah mengapa ini selalu sama jadinya. Yang baru aku
sadari ketika sudah mulai mencapai bulan kedua dalam percakapan maya ini.
Begitu absurd memang, tetapi lebih absurd lagi aktifitasku di siang harinya,
menjadi manusia tanpa jiwa yang hanya memiliki prioritas untuk menyelesaikan
waktu kerjanya yakni delapan jam. Aneh betul sebenarnya, hanya untuk melalui
delapan jam saja aku harus terus-menerus menekan jenuh dan tak jarang menelan
kembali udara yang harusnya keluar pertanda kantuk. Sedang berjam-jam pun
ketika aku sedang bercakapan dengan dia, seakan tak pernah cukup untuk
menelanjangi rasa ingin tahuku sendiri terhadap dirinya.
Pernah suatu kali aku iseng
menanyakan kenapa dia selalu membalas sapaan halo-ku dengan hai. Sembari
memajang gambar animasi tertawa terbahak-bahak ia menjawab, “Ya kalau ada orang
yang menyapaku dengan menggunakan kata hai, aku harus mencari kata yang beda
dengan arti yang sama lah!”.
Aku pun dijejali dengan animasi tawa
yang berjuta, hingga seluruh laman leptopku penuh dengan tawa dari jutaan mata.
Buat wajahku senang memerah.
“Jawaban yang tidak memuaskan!”,
tukasku menutupi rasa malu yang ditertawakan oleh jutaan gambar tawa bergerak
monoton itu.
“Tidak akan ada jawaban yang
memuaskan di dunia ini kalau kau menginginkan segala sesuatu yang menguntungkan
untukmu.” Balasnya cepat seakan ingin mengebiri waktu.
Aku tertegun sebentar, lalu segera
mengetik beberapa kata meski tidak tahu tujuan apa yang ingin kusampaikan. Hal
itu kulakukan agar aku tidak ingin terlihat bodoh di depan orang yang sedang
berusaha mengujiku seberapa besar wawasanku untuk meladeni kalimat yang berbau
falsafah itu.
Tiba-tiba ia bertanya melalui deretan
kata pada layar kaca, “Kamu tahu mengenai droppelganger?”
“Apa itu?”, tanyaku dalam hati, takut
ia tahu aku tak tahu. Meskipun mata tak saling bertemu, rasa takut menggebu
bilamana celoteh televisi yang nyala terabai di kamarku ini tidak sengaja
menceritakan bagaimana sikapku kala gadis maya ini bertanya.
Lalu menyusul kalimat lain
setelahnya, seakan ia tahu bahwa aku tidak mengerti apa yang ia maksudkan itu.
“Yaa.. Mengenai kembaran seseorang,
atau bisa dibilang sebuah pribadi serupa secara watak dan fisik dirinya sendiri
yang ia temui atau hanya sebatas melihatnya.”
“Ohh.. Mengenai manusia terlahir di
dunia memiliki, setidaknya, tujuh orang yang serupa dengan dirinya?”, rasanya
terselamatkan pula percakapan yang sudah terjalin cukup lama ini, sehingga
tidak perlu lagi terhenti begitu saja karena gadis maya itu merasa jenuh akan
kebodohanku.
“Haha.. Mungkin bisa dibilang seperti
itu.. haha..”, jawabnya segera.
Apa maksud dari kalimat terakhirnya
itu? Begitu banyak kemungkinan akan arti kalimat barusan yang merambat pada
tiap serat otak. Bisa saja dia menertawai percakapan kita yang menyeret pada
hal-hal di luar kebiasaan konvensional meksi tidak ada kalimat mesra di
dalamnya. Bisa pula ia tertawa karena kebodohanku yang gegabah merespon
kalimatnya, sehingga salah pemahaman dalam pembahasan. Atau bahkan tertawa
karena merasa bodoh berlama-lama tegur-sapa di dunia maya dengan orang yang
amat sangat bodoh dan sempit wawasannya. Agh! Cakapan ini semakin membuatku
terlena untuk menerka-nerka tiap ujarnya dalam kata pada layar kecil ini.
“Boleh cerita?” Tanyanya seakan
sedang lara, mungkin dengan seseorang yang menjadi kekasihnya.
“Tentu boleh. Ada apa?”
“Aku pernah bertemu dengan seseorang
yang mirip denganku dua tahun lalu.”
“Wah asiknya.” Seruku secepatnya agar
ia segera melanjutkan ceritanya. Lalu tanpa sadar aku membayangkan sosok gadis
maya tersebut. Astaga! Aku tidak bisa membayang-kannya sebab aku tidak pernah
melihat potret lawan bicara yang selama 3 bulan ini saling tegur-sapa.
Sebaiknya aku segera meminta jejaring sosial lainnya yang menampilkan potret
serta jatidirinya, tapi tidak sekarang, karena ia sedang bersemangat untuk
bercerita. Iya! Aku harus memintanya setelah selesai ceritanya nanti. Harus
kuminta!
“Sebetulnya tidak seasik yang mungkin
sekarang kau bayangkan.”
Tahu saja ia bahwa aku sedang mencoba
membayangkan. Dasar gadis maya, kau sungguh menarikku pada jaringan tanpa
dunia. Pada dunia yang menjaring daya hayal manusia.
“Kenapa memangnya? Bukankah itu
bagus, sebab kamu bisa melihat dirimu, setidaknya yang menyerupaimu, selain di
cermin belaka atau foto bahkan rekaman video dari ponselmu.”
“Haha.. Iya juga ya.. Haha.. Tapi
pertemuanku dengan sosok yang menyerupaiku ini tidak begitu biasa seperti
pertemuan lainnya dengan orang lain.”
“Maksudnya? Kamu sungguh misterius ya
kalau sedang bercerita.” Selalu aku mencoba agar cakapan ini tidak berujung
serius. Maksudnya keadaan yang membuat masing diantara kita saling
mengerenyitkan dahi.
“Emm.. maksudnya aku bertemu dengan
kembaranku itu dalam situasi yang tidak bisa dibilang normal, yakni ketika ia
sedang mengalami kecelakaan.” Jawabnya cukup lama.
“Astaga! Bagaimana bisa?”
“Ya, hal itu terjadi begitu saja
tanpa ada ruang waktu untukku bercakap-cakap dengan dia. Ya kecelakaan di jalan
raya. Kecelakaan itu terjadi sore hari selepas aku pulang dari kampus menuju
rumah.”
“Bukannya sore hari itu padat atau bahkan
macet, kenapa bisa terjadi? Dalam keadaan macet tidak mungkin bisa kecepatan
laju kendaraan dapat meningkat pesat.”
“Kau salah mengenai hal ini. Sudah
menjadi budaya di negara kita, terlebih ketika jam pulang kerja tiba, pasti
emosi di jalan raya meningkat beberapa kali lipat dibanding jumlah kendaraannya
sendiri.” Sangkalnya terhadap responku mengenai kecelakaan sore dua tahun itu.
“Oh iya, sore hari, terlebih jam-jam
pulang kerja, sifat binatangku bergelora bagai raksasa yang direbut kekasihnya
oleh raksasa lainnya.” Usahaku lagi agar dia tidak hilang sikap cerianya.
“Haha.. Kau masih saja lucu meski aku
sedang serius seperti ini.”
“Habisnya kamu begitu berbeda ketika
sedang menceritakan tentang hal ini.” Hanya alasan ini yang bisa terlontar.
“Bisa kulanjutkan lagi?”
“Oh ya silakan.. maaf memotong
ceritamu.. hehe.. Lanjutkan!”
“Iya, aku memang tidak sempat
bercakap-cakap dengannya, tetapi aku melihat jelas sikapnya dan wajahnya serupa
aku. Aku melihatnya dari halte yang biasa kujadikan tempat menunggu bus untuk
mengantarku pulang. Ia menunggangi motor otomatiknya di persimpangan besar
sebuah jalan protokol Jakarta Timur, dan sebetulnya lampu lalin di jalurnya
sudah hijau. Ia pun melaju, meski tidak terlalu cepat, seperti pengendara
lainnya yang langsung tancap gas meski lalin memampang warna kuning. Di saat ia
mulai melaju tiba-tiba dari arah persimpangannya ada beberapa motor yang
menerjang. Ia terhantam keras!”
Aku bingung menyahut apa. Ia meracau
begitu rupa, seperti kita itu sedang bertatap muka. Yang kulakukan hanya bisa
menganggut belaka, meski ia pasti tidak melihatnya.
“Hey...! Masih menyimak ceritakukah?”
Muncul kata-kata itu di layar leptopku.
“ah, iya masih. Aku bingung mau
berkata apa.. hehe.. Lanjutkanlah”
“Setelah tabrakan itu, aku
terbengong-bengong. Karena orang yang serupa denganku itu mengalami nasib yang
begitu buruk. Aku tidak bisa berteriak lagi, yang ada aku hanya berdiam diri,
tidak ada sendi yang mampu kugerakkan. Macet pun menjadi-jadi sesaat kecelakaan
itu.”
“bagaimana nasib perempuan itu? Eh
jangan langsung dijawab dulu, sebaiknya kamu deskripsikan saja seluruhnya,
nanti kalau sudah selesai tinggal kamu tulis sudah selesai ya..” Potongku
sembari memintanya melanjutkan hingga selesai.
***
Aku
terdiam dalam bekam situasi yang tiba-tiba mencekam. Suara hempasan yang saling
terhantam menghasilkan gemuruh gaduh di keramaian senja ini. Aku sangat
bergeming karena kejadian itu. Bagaimana tidak orang yang tadinya aku
perhatikan telah mengalami sebuah musibah yang mengejutkan.
Awalnya
aku tadi memperhatikan seorang wanita yang dari sikap dan fisiknya hampir
serupa denganku, di sebuah jalan protokol wilayah Jakarta Timur. Ia sedang berada di atas motornya,
sedang aku berdiri di halte untuk menanti kedatangan bus yang biasa mengantarku
pergi-pulang antara kampus dan rumah. Aku begitu tak menyangka bisa bertemu
sosok yang hampir mirip denganku. Aku jadi teringat mengenai kisah atau dongeng
yang mengatakan bahwa manusia itu diciptakan dengan kembarannya sebanyak tujuh
orang. Dan sepertinya ia-lah salah satunya. Ya aku yakin itu.
Aku
seakan-akan seperti sedang bercermin, ya meskipun dia sepertinya lebih mandiri
ketimbang aku. Sebab ia bisa mengendarai sepeda motor, sedang aku sepedapun
tidak bisa, selalu menjadi anak manja diantara anak manja kebanyakan. Aku tidak
pernah lebih dari lima jam selepas pulang sekolah. Semenjak menjajaki bangku
kuliah saja aku bisa berada di luar rumah sampai pukul tujuh malam, itupun amat
jarang terjadi.
Awan
yang saat itu menghitam bertambah suram karena peristiwa tabrakan. Banyak
jeritan yang berjejalan masuk dalam lubang telingaku, seakan ingin menjarah
seluruh isinya. Ada yang berteriak, “Bantu dia! Bantu wanita itu!” meski tidak
bergeming untuk segera turun dari kendaraannya.
Ada
yang langsung berlari menolong. Seorang pria muda yang dari arah kampusku
segera meninggalkan sepeda motornya yang masih menyala begitu saja. Ia yang
pertama. Sambil kesal ia berteriak, “Ayo segera bantu ke sini!”. Setelah itu
banyak yang berhamburan mendekat.
Alhasil
yang terjadi gadis dan motornya dibawa ke tempatku, ke halte untuk dibaringkan
di sini. Sedang pelaku ugal-ugalan yang menghantam gadis itu diberikan ribuan
cacian dan jutaan pukulan di tengah jalan itu. Banyak yang mengerumuni halte,
tetapi lebih banyak yang menari-nari di tengah jalan yang menjadi semakin
kacau.
Amukan terjadi begitu rupa. Aku sesekali
melirik ke arahnya, terlihat bunga api bergejolak di antaranya. Entah itu dari
motor pelakunya atau bahkan tersangkanya. Aku tidak tahu, tapi itu benar
terjadi saat itu. Benar-benar terjadi di depan mataku.
Anyir mulai merebak dari gadis yang
serupa denganku itu. Sekujur tubuhnya penuh darah. Merah. Merah! Membuatku
marah pada seluruh situasi ini. Ia masih memandang kosong ke angkasa. Dengan
mata yang dibanjiri oleh warna merah. Mata itu sendu meski seharusnya sudah
mengaduh akan luka yang diderita, tetapi tidak tampaknya. Masih dalam sendunya
lantas mata itu memburu mata senduku pula. Saling berjumpa, dalam situasi yang
amat duka, sepertinya ia ingin bercerita atau hanya ingin bertegur sapa dengan
orang yang ia rasa mirip dengannya. Lalu lelah yang tertahan jua, jatuh semua
rada dari tenaga yang tersisa. Hilanglah nyawanya.
Aparat berdatangan, dengan beberapa
kendaraan yang memercik suara riuh dengan merah-biru saling menderu. Sebagian
mendekati jasad wanita itu, lebih banyaknya berusaha membubarkan kerumunan yang
sedang lancarkan kegeraman. Tambah kisruh dengan desingan peluru. Aku tak kuat!
: Sudah Cukup!! Selesai Sudah!!!
****
Ke
manakah perginya ia? Sudah seminggu lebih tak pernah ada jumpa untuk sekedar
sapa. Selepas ia bercerita panjang itu, aku menunggu kabarnya yang semakin
semu. Apa ia hanya sebatas fatamorgana bagi kaum yang merobotkan diri pada
aktifitas sistemis nan mekanis. Kau betul-betul membuatku keluar dari sistem
gadis maya. Eh maksudnya gadis maya bersapa Aurel. Dan sekarang kau kembalikan
lagi malam-malam yang membosankan padaku. Hanya bisa merunutkan kata pada kolom
berbaharui status, dan hal itu kulakukan berulang-ulang dengan gundah yang
menjadi primadona pesannya.
Pada
akun jejaring sosialku, meski tercatat hampir ribuan kawan, tak ada satupun
yang kukenal. Mereka begitu asing, bahkan orang yang dikehidupan nyata kukenal
seakan yang arca yang tak pernah ingin menegurku untuk bersua kata. Begitu hampa,
begitu nyata! Apa hal ini bisa dikata nestapa? Aku kembali menjadi gila.
*****
Sudah
masuk minggu kedua kau tanpa hati buatku menanti. Sampai saat ini aku belum
bisa menghayalmu, karena memang aku tidak pernah melihatmu meski dengan
sepotret berisi dirimu. Ah! Begitu bodohnya aku ini, mengapa dulu tidak segera
kuminta akun jejaring sosial yang memampangkan identitas aslinya! Agh dan
kenapa mesti minta akun jejaring sosial, aku dapat langsung meminta nomor
ponselnya! Iya, kenapa tidak kuminta dahulu? Apa karena takut ditolak
permintaan nomor ponselnya? Apa takut jatuh cinta? Bodoh! Aku saat ini sudah
jatuh cinta! Padanya!
Aku
hanya bisa mengenang sosok yang tak mungkin terkenang secara fisik, melainkan
hanya kata-kata. Kembali kubuka berkas-berkas cakapan yang lampau. Hampir 5
bulan lalu. Dari mulai teguran awal yang aku mulai, sampai kata selesai yang ia
pakai untuk menutup cerita. Kenapa aku arsipkan percakapan ini? Apa mungkin
karena fungsi kerjaku sebagai data entry membuat
diriku secara otomatis menyimpan segala yang kami sampaikan.
Dalam
pembacaan percakapan yang terekam, aku dapat tertawa dan gundah secara
bersamaan. Tunggu dulu! Aku selalu terhenti pembacaanku ini pada kata
doppelgenger. Kata yang begitu asing, begitu jauh dengan yang aku ketahui. Ah!
Kenapa tidak ketika ia mulai bercerita aku tak cari tahu mengenai kata itu,
malah yang ada aku hanya menunggu ia menyelesaikan ceritanya. Betapa tidak
dinamisnya aku ini. AKH!!
Langsung
kubuka laman baru dan kuketik kata doppelgenger itu dalam papan pencarian.
Ternyata ada jutaan artikel dari dalam maupun luar negeri yang menyinggung
tentang kata ini. Kupilih salah satu situs yang menurut sebagian orang
merupakan situ ensiklopedi terlengkap di dunia maya.
Telah
muncul perlahan tiap katanya. Mulai dari judul lebih dulu muncul, disusul
kata-kata lainnya. Selesai sudah! Semua telah lengkap, tinggal kubaca saja.
Kubaca ia!
“Astaga! Apa-apaan ini!!! Kau Begitu
tega Aurel!!”
Doppelgänger
Doppelgänger (harfiah: muka ganda) adalah penampakan dari wajah seseorang yang masih
hidup, biasanya merupakan suatu pantulan.
Daftar isi
|
Pengucapan
Doppelgaenger adalah kata yang berasal dari bahasa Jerman, yaitu doppel (ganda) dan Gaenger (perjalan).
Pandangan tentang doppelgaenger
Doppelgaenger bukanlah suatu bayangan. Mereka biasanya
terlihat oleh orang itu sendiri, karena Doppelgaenger merupakan sebuah
pantulan. Doppelgaenger orang tersebut akan memberi nasihat seputar masa depan
orang yang melihatnya. Biasanya, orang yang melihat Doppelgaenger akan mati
beberapa tahun setelah ia didatangi oleh Doppelgaenger.
Cerita tentang Doppelgaenger
Doppelgaenger pernah dialami oleh beberapa orang
penting, diantaranya Abraham Lincoln dan John Fitzgerald Kennedy. Mereka pun
meninggal dunia setelah melihat Doppelgaenger beberapa tahun terakhir.
******
“Sudahi
hubungan kalian! Tak kusangka kau menghianatiku!” Suara berat seorang pria
menggetar, lalu disusun dengan makian untuk binatang.
“Maafkan
aku mas, kumohon maafkan aku! Aku memang ada percakapan tetapi kami tidak
pernah bertemu! Apakah ini bisa dibilang selingkuh?!” Sosok wanita merengek
kepada kekasih yang bersuara berat itu, sembari menetes airmatanya.
“Bertemu
atau tidak, kalau ada getar di hatimu itu namanya suka!! Dan kau memang
berdebah sayang!!!” Tangan kasarnya melayang.
“Aduhhh...!!
Maafkan aku sayang! Tapi bagaimana aku tidak begitu, selalu saja jika sudah
bersama denganmu aku pasti sakit. Sakit hati maupun raga!!! Sudah kumohon kamu
jangan pukul aku lagi, karena aku sudah menghentikan komunikasi dengan pria
maya itu sejak dua minggu lalu sayang!!! Kumohon percayalah! Dan aku tak akan
mengulanginya!!” Sang wanita bersusah payah berkata-kata.
Sang
lelaki menghempas kekasihnya. Lalu ia pergi meninggalkan sang wanita. Sedangkan
sang wanita tiada lagi airmata yang mengalir. Ia malah tersenyum dengan bibir
yang melebam. Dengan rambut yang sudah tak keruan. Ada sebercak darah pada sisi
bibirnya. Ia rapikan kembali rambut yang semrawut, meski sebetulnya tidak
membantunya menjadi lebih baik. Lalu ia meludah
“Aku
berselingkuh maya seperti itu, kau sudah seperti kesetanan, tuhan yang
kerasukan roh penunggu pohon kokoh! Padahal kau sendiri sudah dua tahun kan
berhubungan dengan pelacur berengsek itu!! Dasar pria berengsek!!”
* ** *** ** *
Cempaka Baru, 20 Maret 2012
mohon diapresiasi..