Cari Blog Ini

Ada yang Hilang dari Fitrahnya


ADA YANG HILANG DARI FITRAHNYA
Oleh: Dwi Suprabowo
*** 

            Abad ke-20 ini hingga sebelum adanya abad merupakan jalan cerita dari riwayat-riwayat yang telah panjang dilalui oleh seni teater atau drama. Tidak dapat diabaikan begitu saja, begitu banyaknya bentuk-bentuk penyajian dan penggolongan-penggolongan dari pertunjukan teater. Kita tahu penggolongannya seperti; tragedi, komedi, komedi-tragedi, satir, tradisional, kontemporer, modern, realis, surrealis, absurd, konservatif, ekspresifionis, alam, dan lain-lain yang sudah terekordisasi dengan baik melalui ingatan penontonnya maupun dokumentasi yang sudah mulai memadai untuk mencatatnya ke dalam sejarah. Alhasil semuanya merupakan kekayaan yang dimiliki oleh seni teater. Namun, dalam guratan penangkapan saya tentang teater ini tidak akan berusaha mengelompokkan penggolongan-penggolongan tersebut tetapi lebih kepada ‘ada yang hilang dari fitrahnya’ yang coba saya ingin sampaikan, sebab jika melihat dari perkembangan zaman yang menurut praktisi-praktisi-nya bahwa sekarang –saat ini– adalah post-modern. Yang ciri penting dari zaman post-modern ini adalah tidak perlu lagi memusingkan apakah sebuah pementasan itu merupakan penggolongan tertentu atau tidak, tidak perlu membahas aliran apa sebuah pementasan itu disajikan, yang ada adalah bagaimana menghidupi dan menghidupkan seni teater itu sendiri –dengan catatan kita harus mengetahui keberadaan penggolongan itu.
            Memiliki syarat harus menjadi penonton teater FTJ Pusat maka saya harus mengkaitkan dengan hal-hal mengenai FTJ Pusat, yaitu dua pementasan dari dua kelompok teater (Teater UI dengan “Pentingnya Menjadi Earnest” dan Teater Gumilar dengan “Al Jabar”) akan saya sisipkan sedikit dalam tulisan ini. Teater UI melalui “Pentingnya Menjadi Earnest” aktornya membawakan dengan baik setiap detail keaktorannya, sangat jelas sekali terlihat energik yang dibangun oleh aktor-aktor mereka. Bermain dengan santai meskipun tempo permainan mereka tidak sesantai permainan mereka. Sedangkan Teater Gumilar melalui “Al Jabar” diawali dengan eksplosif, ditengahi oleh eksplosif, dan diakhiri dengan eksplosif. Permainan aktornya sangat stabil dengan menggunakan penanjakan konflik yang jarang atau tidak terlalu terlihat. Tempo permainan jadi ikut menjadi stabil sama seperti permainan aktornya. Kunci dari permainan mereka adalah ‘ikon’(istilah semiotika) –idiom-idiom– yang kasat mata meski jelas terpampang di atas panggung. Kedua kelompok ini sama-sama bermain energik. Luar biasa energik.
Teater UI:
dan teater Gumilar:

            Tetapi ada yang terlupa di sini, ‘ada yang hilang dari fitrahnya’ bahwa jika pementasan itu merupakan bahasa, maka mereka atau kita (pelaku seni teater) mengetahui bahwa adanya orang atau sekelompok orang yang menyaksikannya sebagai lawan bicaranya, yaitu penonton tidak diajak atau lupa diajak sesekali berbicara dengan renungan-renungan mereka sebagai orang yang menyaksikan pementasan mereka. Menilik sejarah, di zaman sebelum adanya sejarah (praaksara) bahwa gerak adalah bahasa, jadi dengan gerak mereka sedang berbicara dengan lawan bicaranya –dalam konteks ini lawan bicara = penonton–. Saya pun di sini meyakini bahwa seni teater juga memiliki pola yang sama seperti bahasa. Hakikat bahasa di sini adalah berfungsi sebagai alat komunikasi. Yang membutuhkan beberapa unsur pendukung, antara lain: addressor (penutur/ pelaku) dan addresse (penerima tutur/ pendengar/ penonton) serta yang disampaikannya itu pesan. Bahasa adalah media, maka jika pertunjukan itu adalah bahasa berarti juga merupakan sebuah media, yang akan menyampaikan pesannya. Kita ambil contoh jika kita berbicara menggunakan bahasa Indonesia untuk bertutur dan lawan bicara kita tidak mengerti bahasa Indonesia karena ia warga negara asing yang baru tiba dari negara asalnya, bisa kita simpulkan bahwa pastilah lawan bicara itu tidak akan mengerti bahasanya apalagi pesan yang disampaikannya. Intinya adalah kekinian. Kekinian di sini bukan merupakan modern atau baru melainkan hal-hal yang aktual berkembang di masyarakat sekarang. Mungkin hal kekinian inilah yang dipakai pelaku pembuat sinetron sehingga sangat banyak penggemarnya. Mereka tidak memaksa dengan jalan kasar tetapi dengan pendekatan yang sangat dekat dengan masyarakat. Inilah fitrahnya. Fitrah dari apa yang kita coba untuk hidupkan. Saya meyakini tidak ada pementasan yang jelek dan tidak bagus, melainkan saya meyakini bahwa adanya ketidak-sampaian-nya sebuah pesan kepada penontonnya. Coba kita berandai-andai bersama, jika media kita (bahasa/ pementasan) dipahami oleh lawan bicara kita dan lawan bicara kita dapat menangkap pesan dengan sepenuhnya, tidak hanya penenungan yang akan didapatnya tetapi juga semangat dan juga gairah untuk menggerakkan dunia, tidak hanya dunia teater saja yang spesifik melainkan juga dunia semesta. Dan pastilah apa yang dikatakan oleh Ronny James Dio tidak hanya benar adanya tetapi akan terjadi, bahwa “Sebuah pementasan seni memang tidak dapat mengubah dunia, tetapi dapat mengubah seseorang untuk mengubah dunia”.
            Sedikit dari saya, sedikit pula kebenarannya. Sebab kebenaran itu akan benar-benar menjadi kebenaran jika kita sama-sama memahaminya, dan saya baru saja berkenalan dengannya dan juga merekomendasikannya untuk Anda berteman dengannya. Akhir kata saya ucapkan maaf dan terima kasih, besar harapan saya jika ada respon positif dan juga kalau perlu negatif yang saya terima, agar pesan saya ini dapat diterima dan ditangkap dengan sepenuhnya.
Salam budaya,
Cempaka Baru, 23/07/2011
10.31
(pemenang kritik teater FTJ Pusat 2011)

10 komentar :

  1. Itu semua kembali kepada diri kita masing-masing bagaimana memunculkan kembali semua yang terhilang.
    Kita tak bisa menganggap suatu kebenaran secara mutlak karena kebenaran itu adalah penilaian yang subjektif.

    BalasHapus
  2. no comment akh ka,,,,,
    pkk'y tulisan ka2 amazing :)

    BalasHapus
  3. ajiippbb...
    tp...
    warna tulisan jerami jerami nya kok spt kurang nyatu ya???
    :-p

    BalasHapus
  4. Stave: iya betul, itu semua kembali pada subjek penangkal pesan (teater) tersebut.. makanya di paragraf terakhir dibuat seperti itu..

    jumala: hahaha.. bisa saja kamu, udah seperti desi ratnasari aja pakai no comment segala..

    bang Andrie: hahaha.. maklum bang ga ngerti photoshop.. dan inilah hasilnya hehehe...

    BalasHapus
  5. kereennn..

    dwi banget!!!

    :")

    BalasHapus
  6. selamat kritik ini menjadi pemenang kritik teater FTJ Pusat 2011.
    etuju dengan apa yang diungkapkan penulis bahwa fitrah dari seni adalah untuk menyampaikan pesan.

    BalasHapus
  7. terima kasih semua.. ditunggu lagi komentarnya.. :)

    BalasHapus

mohon diapresiasi..

Copyright © Jemari-Jerami. Designed by OddThemes