Cari Blog Ini

cerita pendek


Autoplastis Vs. Aloplastis

Aku terkejut!! Aku telah berjalan di dalam kabut. Tanpa sadar aku telah masuk ke dalamnya. Mata tak bisa meraba-raba yang ada dalam dunia yang telah ada. Aku sudah mencoba untuk keluar. Untuk keluar!! Tapi tak kutemukan jua jalan itu. Apakah kabut ini tak bersudut?
   Terdengar riak teriak panggil namaku. Seraya suara itu tak asing bagiku. Suara yang terus terngiang-ngiang dan terekam dalam otakku. Atau mungkin saja telah merasuk dalam hatiku, seperti saatku menghisap candu. Apa karena itu aku masuk ke dalam kabut? Atau mungkin karena ilusiku yang meracuni berkali-kali di sanubari ini?
   Nafasku terengah-engah. Halusinasi berkuasa dan telah merajai pikiranku. Sekujur tubuhku telah melewati batas kemampuannya. Suhu tubuh tak lebih panas dari Negara-negara Adidaya yang dingin dengan kesombongannya.
   Dari jauh terlihat setitik cahaya yang mampu menembus kabut ini. Cahaya yang memberi nama harap pada kehidupan semoga membuat waktu lebih baik. Dari berjalan terpapah seperti memikul beban, aku pun berlari, berlari menembus dan membelah kabut tanpa takut sungut dan sandung terajut hingga berakhir terjerembab aku dalam kabut nan lebih dalam kelam. Ranting dan batu seakan bertarung melawanku, berusaha untuk mencegahku lalu-berlalangan dan meyulap sayap kerap menjadi alap-alap.
Sampai pada setitik cahaya di depan sana, terasa sia namun tiada daya yang berjungkatan, hanya ini satu jalannya, -percaya. Berlari saja aku yang tetap seakan sirna. Bahkan alam pun tampil memusuhiku, melalui ribuan tetes air yang menyerang seluruh tubuhku dan memperpendek jarak pandangku kepada titik cahaya yang mungkin adalah harap akhirku untuk bebas dari masalah ini semua. Semakin lamaku berlari, entah mengapa rasa sakit yang kuderita di lutut kiri ini semakin mempersulit-ku menuju titik cahaya itu. Apakah bagian tubuhku saling berdiaspora kontra dengan ke-inginku tuk keluar dari masalah yang sedang ku hadapi?
   Semakin lama kuberlari semakin jauh rasanya titik cahaya itu berada, −mungkin bertiada. Dalam keadaan tetap berlari meski tubuh ini tergutai lemah, daya hayalpun mulai menguasai pikiran ini. Di otakku mulai timbul tanya, harap, serta pesimistisku. Seperti, apa yang ada di dalam cahaya tersebut? Apakah aku akan mendapatkan kedamaian di sana? Apakah ini akan menyejahterakanku? Bahkan ada pertanyaan yang sangat tak terduga. Tanya itu terlontar pada spiral kehidupan yang suram, yaitu apakah itu hanya kunang-kunang yang ditinggal kawanannya karena malas?
   Cahaya yang tadinya hanya setitik, sekarang berwujud pintu gerbang kebebasan dari kesengsaraan yang selama ini kuderita. Lubang semu itu pun menyeruak wujud buram.
   Setelah sekian lama kuberlari. Telah sampai waktuku tuk memasuki ruang baru yang penuh akan cahaya harap yang telah menunggu di seberang sana. Jantung ini semakin terpacu mengingat aku telah berlari sekian lama.
   Aku berhenti sejenak, untuk memastikan tubuhku siap menghadapi apa yang ada di balik ini semua. Dengan sedikit posesif aku meyakinkan diri. Aku mulai melangkahkan kaki ini untuk pertama kalinya ke dunia baru. Dunia yang telah memberikan banyak harapan-harapanku untuk menggapai angan.
   Kedua kakiku telah menancap dalam dunia cahaya. Pertama yang ku-lakukan adalah menghirup udara kebebasan dari semua beban yang kupikul. Setelah kuhembuskan nafasku, kucoba membuka mata yang tak sanggup tak terpejam, karena ini adalah kemenangan dari semua masalah pelikku.
Terbukalah mataku perlahan, bagaikan seorang bayi yang sedang mencoba rasakan ketegangan seperti saat pertama kali dilahirkan ke dunia.  
   Akhirnya mataku terbuka sempurna. Pandangan mataku mulai menjadi petualang yang menyusuri wilayah-wilayah yang dapat dijelajahi sejauh jarak pandangku dapat berkuasa.
Dihadapanku terlihat tubuh tergeletak. Ditubuh yang tak bergerak itu, bertengger burung kondor mencari-cari sesuatu ditubuh yang penuh dengan ceceran darah, serta puluhan ekor lainnya  terbang rendah berputar-putar di atasnya sedang menunggu giliran. 
Kudekati tubuh itu. Kuusir semua burung yang sedang berpesta dengan meriahnya. Kuperiksa itu untuk memastikan apa ada kehidupan dalam tubuh yang penuh akan cabikan. Ternyata irama jantung dan nadinya masih bisa tersenyum menekan ketaksanggupannya menahan kesakitan-nya. Setelah kepastian kudapatkan, kubangunkan dan kupapah dia.
 “Ternyata tubuhnya lebih berat dari yang terlihat, serta yang semesti-nya mendapatkan bantuan setibanya di dunia cahaya itu aku bukannya se-baliknya” kataku dengan hati yang seharusnya tak sanggup untuk bertahan.
Setelah sekian lama ku berjalan, kulihat sesuatu yang tak seberapa jauh dari keberadaanku. Ada sumber air dan tumbuhan rimbun yang hanya seberapa luasnya. Apa itu oasis? Apa aku berada digurun? Apakah ini hanya fatamorgana? Bukannya negara ini berada di daerah tropis?
Tibalah aku di sana. Segera kurawat luka orang itu yang sepertinya karena keganasan burung buas itu. Setelah itu, kurawat juga tubuhku dan mempersiapkan untuk membuat kehidupan karena tak memungkinkan lagi bagi tubuh ini untuk melanjutkan eksodusku.
Merangkak pergi matahari di hadapanku. Melesat pula bulan seakan ingin diperhitungkan eksistensinya terhadap dunia.
Kurebahkan tubuhku setelah kurasa persiapannya telah cukup. Kupandangi bulan yang penuh sempurna menenangkan hati. Seakan suasana malam bertentangan sekali dengan suasana siang yang penuh akan kemarahan.
“Bulannya menenangkan bukan? Eghh…!” suara lirih kejutkan dan bangunkan kesadaranku dari kedamaian. Suara itu berasal dari sampingku.
“Kau sudah merasa baikan? Bagaimana lukamu? emm…“ per-tanyaanku terputus, karena aku merasa aku ini orang asing yang hanya kebetulan melihatnya tergeletak dan membantunya sedikit.
“Ya, tapi masih sedikit terasa perih” jawabnya tanpa canggung.
 Ditatapnya aku sejenak. Seakan dia sedang mencari-cari sesuatu di dalam diriku yang merasa asing ini. Lalu memalingkan lagi wajahnya dan menatap langit hitam berembulankan sempurna yang malam itu memang sangat indah.
“Begitu indahnya, ya? Bulan itu seakan tersenyum bersama kita” ia berkata lagi, dan memecahkan kesunyian yang terjadi sejenak.
Entah dengan maksud apa ia berkata demikian. Sepertinya ia pandai meredakan suasana asing menjadi lebih akrab.
Kami pun mulai saling berbicara secara bergantian. Dari yang cuma sekali bicara setelah itu hampa, telah menjadi percakapan antar sepasang anak manusia. Gila! Dia antusias sekali menanyakan semua hal tentang aku. Seakan ia mengenalku dan sudah terlalu lama sekali tidak berjumpa. Aneh. Akupun merasa demikian. Suasana asing telah melebur menyatu dalam haru malam itu.  Entah mengapa ku menyatu dengan malam.
“Sebenarnya, dimana ini? Kenapa siang sangat bertolak-belakang dengan malam?” tanyaku, seraya mengingat jati diriku kembali.
“Ya… Ini di kaki Bukit Gunung Kembar P” jawabnya terkesan bingung. “Kalau masalah itu, matahari sudah sangat murka dari ratusan tahun lalu” Tambahnya dengan nada terkesan mengeluh.
“Tapi…” sahutku, kemudian mengurungkan-nya.
“Sepertinya kamu bukan berasal dari masa ini” ucapnya seakan telah memastikannya.
Ada sebuah legenda yang sering diceritakan oleh nenekku sebelum aku tidur. Mengenai matari yang sangat buas menyerang kulit hingga kilap jadi gelap. Dahulu, siang hari adalah surga dunia yang indahnya melampaui kesempurnaan malam. Dimana mentari sangat ingin sekali disaksikan oleh setiap orang di masa itu. Namun, beratus-ratus tahun yang lalu, matari tak kuasa menahan gelisah menjadi amarah. Terjadi perubahan udara dengan racun didalamnya, dan teknologi manusia merusak alam sehingga lapisan Ozone menipis dan karam dalam lautan asam. Mentari yang dulu sangat indah menjadi punah dalam runtuhan bangunan alam yang rusak karena ulah oknum nenekmoyang yang lerlalu picik” dongengnya kepadaku.
Aku baru teringat kembali, sedang apa aku disini? Tempat seperti apa ini? Kenapa aku bisa disini? Apa aku sedang berada dalam masa depan yang kelam? Kegilaan menderu-dera. Kegelisahan menyulam malam berbalut kelam berbahan ketidakpahaman. Kurasa pikiran ini harus kembali sadar dalam dunia di mana aku sekarang berada.
Sekian kalinya aku tak bisa berucap apa-apa. Dia telah menjadi selimut bagiku di dalam keraguanku yang semu. Aku diam. Apakah diamku ini  menandakan setuju?
Malam pun pergi, setelah terintimidasi oleh matahari yang sedang emosi karena perlakuan manusia dulu terhadapnya.
Aku mulai ingin membuka diri padanya, yang bahkan belum sempat tahu namanya.
“Namaku Wulan…” sahutnya seakan mendahului keterbukaanku kepadanya. “Kalau kamu siapa?” tanyanya tegas penuh berharap.
“Aku? Eeee…” bingung dengan pencarian jati diri sendiri. “Panggil saja senja, eh!... Ya, SENJA..!” tidak yakin.
“Mau kemana?” tanyanya. “Entahlah, tidak tahu” jawabku santai penuh pertimbangan. “Bagaimana ke tempatku saja, dimana masih ada kehidupan” sahutnya cepat tanpa tinggi hati. “Baiklah” kuterima ajakannya meski hati masih menentangnya.
Di sepanjang jalan setapak menuju tempat tinggalnya, yang terlihat hanya wanita. Mulai dari pinggiran kota yang gersang, daerah perdagangan, sampai pusat kota pun hanya ada wanita di dalamnya. Wanita jugalah yang menjadi pekerja kasar membuat bangunan kota sepanjang mataku menyapa. Kemanakah pria yang seharusnya disana? Kemana tanggungjawabnya? Apa sudah menjadi pecundang, yang cuma bisa bersembunyi di ketiak wanita saat di ranjang? Aku mencoba bertanya, meski rasa takut melukai hati Wulan.
“Emm… Dimana para pria yang seharusnya mengerjakan pekerjaan kasar seperti itu?”.  
“Oh, hal itu..”. ia menunjuk para wanita pekerja itu. “Itu hal biasa disini”.
Mungkinkah konsep persamaan derajat telah berjalan dengan baik? Dibalik panasnya dunia, ternyata perjuangan mereka terwujudkan. Dimana tidak ada diskriminasi perbedaan gender. Tapi, dimana kaum pria? Di mana-pun tak kulihat mereka sampai saat ini.
   Setibanya di sana, kami disambut dengan ramah disertai suka cita. Apa maksudnya semua ini? “Kalian tiba dengan selamat! Untunglah! Akhir-nya!” seloroh dan sorak-sorai para penduduk itu berulang ulang. Apakah dia orang yang teramat penting, sehingga seluruh penduduk bersorak bahagia?
   Diantara kumpulan orang itu, ada seseorang mendekat dan mendatangi Wulan, sepertinya dia merupakan orang penting di desa ini, dan berkata “Selamat yaa, kau telah kembali ke desa dengan selamat dan sekarang kau resmi menjadi seorang kesatria sekaligus menjadi salah satu panglima tinggi di desa.”
   Apakah dunia berputar begitu cepat? Bukankah dunia ini masih menganut sistem politik demokrasi? Namun kenapa gambaran ini seakan menganut  sistem politik Aristokrasi1? Bahkan lebih mirip Olidaki2.
    Tiga hari berlalu. Aku memberanikan diri untuk mulai mendesak Wulan untuk bicara. Aku desak dia, desak, meski ia terus mengelak. Aku tak patah arang. Ku desak ia untuk katakan apa yang terjadi sebenarnya.
   Akhirnya, ia mau bercerita. “Sebenarnya, kau dan semua pria di dunia ini adalah golongan 2 atau makhluk lemah yang harus dilindungi. Mereka hanya tinggal di rumah. Mengurus rumah, dan mengasuh anak-anak.”
   “Apa? Dunia macam apa ini?”. Setelah itu aku langsung meninggalkan Wulan dan pergi dari rumahnya.
   Tak lama kemudian, ia berlari keluar dan mengejarku.
“Tunggu, tunggu Senja…!” Teriaknya seperti raungan singa yang memecah rimba. Serentak tubuh ini tak mau bergerak seakan ada mantra dalam teriakannya.
“Tunggu…!” Ia kembali mengatur nafasnya. “Sebenarnya aku juga tidak setuju dengan ini semua. Nenekku pernah bercerita tentang neneknya yang dulu setingkat derajatnya dengan pria, mereka hidup saling ber-dampingan dan bahu-membahu menjalani hidup yang sangat sulit tapi penuh dengan keceriaan di dalamnya. Aku juga mendukung maskulinisme3 sekarang. Jadi jangan pergi ya?” 
“Baiklah” jawabku
“Aku akan mewujudkan persamaan derajat bersamamu. Aku akan selalu ada di sisimu bahkan di belakangmu” katanya lagi.
Kami berdua menuju suatu perubahan. Aku mengumpulkan semangat para pria untuk bergabung dalam acara penguasa di alun-alun yang sedang merayakan malam syukuran. Wulan mempersiapkan diri untuk mendukung tiap tindakanku.           
Kami bergabung dengan keramaian. Di antara yang berpesta, ada yang berteriak dengan emosi “Apa yang sedang kalian lakukan disini?”.
Hanya dengan kata-kata itu, nyali para pria itu seakan menghilang begitu saja. Para pria hanya tertunduk tak bergerak.
Aku putuskan untuk berlari dan lompat ke atas meja yang penuh sesak dengan makanan yang mungkin di masa itu sangat istimewa.
“Hai para penguasa!, dengarkan perkataanku ini. Apa kalian tidak sadari apa yang telah kalian lakukan? Apa kalian lupa apa yang nenek-moyang kalian lakukan? Kalian semua saling hidup berdampingan, satu sama lain saling mendukung. Apa yang kalian lakukan? Apa kalian lupa?”
   Tiba-tiba Wulan datang dari kumpulan orang itu dan ikut berdiri di meja mendampingiku.
   “Aku juga sudah tidak setuju dengan diskriminasi selama ini.”
   Salah satu orang pentingpun ikut bicara. “Apa yang kau lakukan? Kau ini adalah salah satu kesatria tinggi di desa ini bukan?”
   “Ya memang! Tapi aku ingin mewujudkan impiku untuk men-dampinginya sampai saat waktuku tiba. Aku akan selalu mendukungnya”. Wulan pun menggenggam telapak tanganku dengan sangat eratnya namun tetap hangat terasa.
   Kami berdua seakan menjadi satu-kesatuan, seperti Yin dan Yang. Sebab tanpa ada seseorang yang sangat penting bagiku tak ada artinya pula diri ini menjalani hidup. Tidak ada tokoh penting tanpa ada orang yang penting dalam dirinya.
   Tubuh Wulan pun tejerembab tiba-tiba. Anak panah terlihat menancap pasti di punggungnya. Suasana yang tadinya penuh dengan teriakan ria telah menjadi teriakan yang penuh dengan hujatan dan kecaman.
   Genggamannya melemah dan mulai terlepas dari tanganku. Ku coba untuk membangkitkannya kembali. Ia pun takkan kembali. Kukejar siapa yang melakukan itu. Dari arah pandangku semula, melesat anak panah lainnya, merangkul kakiku hingga tak mampu tuk bergerak dan tubuh ini bersandar pada tanah. Aku kembali bangkit dan berbalik, namun disambut dengan hal yang serupa dari arah sebaliknya. Belum sempatku bangkit, panah pun melesat tepat menuju tempat asal mula wanita diciptakan. Pandangan mulai kabur, namun kekeras-kepalaan ini telah memprovokasikan tubuh untuk menentang ketidakmampuaannya. Disaatku berusaha berdiri datang se-sosok tubuh dengan pangkat dan jubah, dicabut sesuatu dari pinggangnya, sebuah benda berkilau namun tak begitu jelas apa benar. Dihunuskan benda itu di ulu-hatiku. Terdengar samar-samar ia berkata.
“Ini adalah sebuah keris bersejarah, yang pernah mencicipi darah Ken Arok dan keturunannya. Seorang hina tetaplah menjadi hina meski ingin merubahnya”
Tak terlihat apa-apa. Tak terdengar apa-apa. Tak pula rasakan apa-apa. Aku telah pergi entah kemana. Entah ke mana.
“Kamu sudah bangun mas? Segeralah ambil wudhu terus sholat nanti ngga dapat waktu subuh loh…”
“Bukannya aku sudah…? Bukannya kamu sudah…? Sudahlah…!! Mungkin hanya ketakutanku saja… O iya, nanti berangkat jam berapa?”
“Sebagai seorang pemimpin, ya harus memberi contoh yang baik dong buat karyawannya.”
“Jangan terlalu keras ya…”
Di zaman apapun dan di waktu kapanpun, tanpa ada seseorang yang teristimewa, tak akan mungkin hidup kita menjadi sesuatu yang istimewa pula.              

Jakarta, 06 Juni 2008

Posting Komentar

mohon diapresiasi..

Copyright © Jemari-Jerami. Designed by OddThemes