Cari Blog Ini

cerita pendek


K U T U K A N

Dalam ruang gelap tanpa kerlap yang hinggap aku meratap senyap. Dikelilingi jeruji dengki dengan panasnya bumi. Terdiam di sudut ruang, yang penuh sesak dengan gambaran-gambaran kengerian di negeri khatulistiwa. Negara kelas dua yang bercita-cita menjadi Negara kelas satu dengan jalan pintas dan singkat. Mungkin saja label kelas dua serupa figura, yang hanya perindah pandangan yang tak mampu memandang. Dengan janji yang membesarkan jiwa, namun hanya menjadi pelipur lara bahkan lelucon dusta. Negara yang lupa akan sejarah, yang lupa akan keberadaannya, yang luluh dalam penderitaannya, dan yang sedang demam gangguan jiwa kekuasaan. Di mana tak ada kewarasan di dalamnya. Jika ada angka genap setelah dua, mungkin Burung berkalungkan lima moral masih berkutat dalam gerigi penghianat diri.


Aku bukanlah berasal dari Negara ini. Aku sendiri tidak tahu pasti berasal dari mana aku ini, namun yang terpatri aku telah membuat seorang menjadi legenda di asal masanya dan menjadi penggembira banyak orang meski tak pasti dengan hal itu. Setelah legenda telah tiada karena tekanan jiwa hingga peluru mencipta karya abadi di kepalanya dan penganutnya jadikan ia legenda sebenarnya. Aku pun kelana setelahnya. Dari tahun ke tahun menyambangi Negara-negara yang terpengaruh bahkan tercemari oleh duniaku, yang menurut banyak orang merupakan dunia universa, dunia yang mendunia tanpa ada sekat. Hampir di setiap Negara, aku telah jadikan seorang menjadi legenda yang serupa nasib pendahulunya. Aku tetaplah sang kelana.


Saktikah aku? Berilmukah aku? Hingga Banyak orang menganggapku begitu. Semua legenda yang ku cipta berucap itu sebelum akhirnya mereka pergi ke ”dunia paling fana yang pernah tercipta”. Namun aku lebih percaya bahwa aku memanggul kutukan mematikan bagi yang bersentuhan dalam duniaku. Kemampuanku dapat membuat sang pengecap saktiku dapat pengaruhi semua orang yang ia sapa dan teriaki dengan duniaku ―dunia yang bebas, bebas menyuarakan apa saja, dunia tanpa batas, batas bahasa dan budaya bahkan agama, dunia tanpa kasta, yang ada hanya ekspresi jiwa di dalamnya.


Setelah sekian lama berpindah tempat, akhirnya sampailah ku pada Negara khatulistiwa. Namun yang melekat hanya ingatan yang baru kualami sekarang. Aku di gerigi ruji penjara. Samar terasa kenapa ku di sini. Suara tak bertanggungjawab berkata: karena tuduhan bahwa aku pembunuh berantai berdarah dingin yang dengan sadis menyebabkan banyak nyawa terlepas dari lapis kerasnya.


Perigiku merasuki hati. Mencerca sepanjang masa. Tanpa bisa berbuat apa. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah mengenang. Mengenang peristiwa yang tak terkarang. Kabur semua apa yang dinamakan bayang, tiada di depan bahkan di belakang. Yang ada hanya karang yang terus tercengang dengan ketidakpahamannya terhadap dunia. Ku coba untuk mengingat apa yang sebelumnya telah tersurat.


Aku berada diantara benda tua tak berguna, yang haruskah tiada? Yang apa benar tiada guna? Apa setelah tua dibuang begitu saja? Gila! Apa ini sifat asli manusia? Aku hanya diam tak tahu berbuat apa, karena aku diantara mereka. Aku lama menatap mereka. Lama, hingga lupa telah berapa lama aku di sana, mungkin karena rasaku satu diantara mereka. Dari kejauhan kulihat sesosok ―yang masih hijau, yang sangat haus dengan pemahaman― memandang dengan penuh perhatian. Setelah lama mengamatiku ia pun mendekat. Masih dengan kehausannya ia mendaratkan tiap langkahnya dengan pasti namun tetap ragu-ragu. Apa yang sedang dipikirkannya terhadap aku? Apa yang ia harap dariku?


            Dia telah berada dihadapanku. Tetap dengan pandangan yang liar menatapku dengan penuh khayal. Tangannya terangkat. Apa yang ingin dilakukannya? Dengan perlahan ia menyentuh bagian tubuhku. Mulai dari leher ia sentuh. Aku diam saja Tapal tangannya turun-naik dalam tiap ruas jenjang leherku. Aku terpesona. Tubuhku dipegang kencang dan diamati detail hingga lekukan terkecil yang tersembunyi. Aku tetap diam. .    


            Setelah berapa lama ia amatiku, ia pun pergi menjauh dariku. Menghilang diantara benda tua yang tak mungkin lagi tertawa. Yang kulakukan saat itu hanya diam, karena mungkin ini adalah takdir yang tertancap didalam curam kisah perjalananku. Tak lama berselang pemuda itu kembali dengan senyum yang polos ― seperti anak kecil yang mendapat hadiah. Dibawanya aku bersamanya. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, sehingga aku hanya diam dibawanya. Seperti ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang sangat unik sehingga aku mau mengajarkan dan membagi pengalaman dengannya. Akan ku bantu ia untuk mencapai hasratnya, itulah yang ada dalam keyakinanku saat itu.


Bersamaku ia telah mencapai titik tertingginya dalam dunia fana yang tersorot oleh cahaya warna-warni dan bersuara harmonis dalam satu garis simfonis. Tak sesuai harapku, ia yang ku kira bisa bertahan dari tekanan kegembiraan dengan putihnya jiwa malah lebih cepat terdampar dalam sayatan kelam kemunafikan dunia.


            Dia terlena akan kemurkaan yang terselubung karena telah diselimuti oleh nikmat dunia “gila”. Ikut gila dalam dunia simfoni yang seharusnya menjadi penghubung antara Negara-negara alam bawah sadar dengan dunia yang bundar.


            Di dalam pertunjukan. Pertunjukannya denganku tentunya. Jiwa yang sejak awal tenang dan tanpa noda telah berubah. Berubah tanpa jubah putihnya lagi. Bahkan egonya telah mengeluarkan nanah yang bercampur darah, seakan iblis telah dirasukinya. Pengagummu terasuki kekuatan, yang seakan kaulah kekuatan yang mampu tenangkan dengan suara harmonis dan luluhkan angkuh yang tak rapuh.


            Egomu pun meradang. Ingin layangkan parang dalam perang. Terangmu adalah remang.  Satu per satu kau cabut nyawa para pengagummu, namun demikian pengagummu tak urung berpaling darimu. Mereka semakin setia dan tersiksa. Cintanya terus membara kepada dewa di hadapannya. Akhirnya tetap mati dalam pesta.


            Kau tertawa. Tertawa bahagia dengan liarnya, dengan menikmati penderitaan pengagummu di bawah sana.


            “Hahahaha…….”


            Mati, rasa yang berbeda yang dipahami oleh pengagummu. Derita, suatu kebahagiaan berbeda yang dimengerti oleh pengagummu. “Apa kalian tidak memahami konsep bahagia? Senyum di dunia?”  Makhluk bodoh. Merasakan sesuatu dari kulit luarnya dunia.  Mereka mati satu per satu dengan senyum, yang entah apa itu kebenaran yang tercermin atau hanya hypno yang kau tebarkan.


            Kau bunuh mereka semua, tanpa terkecuali dengan segarnya. Bahkan satu per satu anggota timmu kau lahap bagai kudapan penghantar malam. Dimulai dari si pengatur tempo, kau sanjung dia dengan sentuhan yang mengguncar hingga banyu kelabu keluar dari kepalanya. Setelah itu si  pembuat irama dan si pelafal nada ikut kau tarik nafas terakhirnya, meski itu bukan waktunya. Kau pun tak luput dari kecekaman udara ruang penuh nanar. Nyawamu ikut berlari menari meninggalkan sarang raganya.


            Nadaku pun tak bersua kata, celoteh hanya mampu di dasar jiwa. Setelah berapa saat sepi menyapa dan tak ada lagi tanda hidup di sekitar, timbulkan aroma nestapa yang masgul. Duduklah aroma nestapa di atas singgasana tahta di antara semua, kuasai mayat-mayat di sana dan iklim dimensi mati.


Kala hari capai antiklimaksnya. Polisi pun datang dengan gagah berani, sambangi semuanya bak analis yang sedang menilai. Kepalanya pun ikut datang, pantau semua dengan buku catatan di tangannya. Seakan sedang memburu barang toserba.


            Ia pun berkata kepada bawahannya. “Lautan nyawa tak tahu rimba. Bereskan segera. Taruh laporannya di atas meja, lusa!”


            Kepala polisi kemudian meninggalkan para bawahannya. Ia menuju pintu yang di baliknya telah banyak menunggu para penulis sastra tanpa arti ganda didalamnya, yang selalu menimang alat pengabadian fenomena yang akan dipaparkan dalam surat berita esoknya. Kepala polisi telah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Dia pun sudah mempersiapkan kewibawaannya di hadapan mereka dan telah siap dengan kumpulan kata, ”Ini semua masih dalam penyelidikan. Nanti kalau ada perkembangan saya akan beritahu. Terimakasih.”


Yang tersisa hanya tiga polisi di lokasi. Mereka adalah para penyidik. Mereka bingung harus berbuat apa, yang ada dikepala mereka hanya pulang saja. Mereka melihat sekelilingnya, tidak kedapatan apa-apa, yang ada hanya serak tubuh tak berjiwa. Kembali mereka memanjakan matanya untuk pandangi suasana,


            “Tidak ada barang bukti apa-apa!” Kata polisi pertama.


            “Cara dan bagaimana pelaku kabur juga tidak bias dilacak!” Kata polisi kedua.


            “Psikopat dari luar atau salah satu diantara mereka yang menjadi pelakunya juga tidak dapat dilacak!” Kata polisi ketiga.


            Setalah pembicaraan mereka berlanjut seketika paras karangnya memancar-kan bulan sabit. Mereka mendekatiku. Tubuhku diboyong meninggalkan ruangan.


            Aku masih diruang ini karena setiap ku membantah tangannya menganyam luka di tubuhku.






SarangRanjang,   Oktober 2008

Dwi Suprabowo

1 komentar :

  1. Casino, Gaming, and Dining | Dr.MD
    Our 논산 출장샵 hotel is the ideal place for 성남 출장샵 gaming and 안동 출장안마 dining! Play, win, 사천 출장샵 and more with Dr.MD's Hotel Rewards program! Rating: 3.4 · ‎Review by 안성 출장마사지 David Jest

    BalasHapus

mohon diapresiasi..

Copyright © Jemari-Jerami. Designed by OddThemes