Cari Blog Ini

TIMBUL-TENGGELAM TEATER TRADISI


TIMBUL-TENGGELAM TEATER TRADISI
Oleh : Dwi Suprabowo


                Timbul-tenggelam teater tradisi, adalah jajaran kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah eksistensi dari hasil budi dan daya masa lalu masyarakat Indonesia yang memang sudah sukar menjumpainya dalam deretan hiburan yang ditawarkan oleh era globalisasi ini.
Kita ambil contoh Dongeng Betawi. Padahal kalau dilihat dari proses pembentukannya, teater tradisi ini sangat membutuhkan jalan panjang dan berliku untuk mencapai pengakuan identitas sebagai salah satu teater tradisi (Dongeng Betawi itu sendiri). Sebelum teater tradisi ini diakui sebagai Dongeng Betawi, ia adalah buah budi dan daya dari masyarakat silam (era kerajaan) Melayu yang bernama dongeng atau tuturan kisah. Pada era itu dongeng adalah hiburan eksklusif raja-raja Melayu saja. Setelahnya, mulailah dongeng sebagai hiburan raja tersebar ke kerajaan-kerejaan lain di wilayah Nusantara. Bertahun-tahun menjadi hiburan raja, pastilah sang penguasa (kaum superior) menyebarkan hegemon-hegemonnya secara sengaja atau tidak sengaja pada rakyat mereka (kaum inperior), dan akhirnya dongeng mulai dikenal di kalangan rakyat jelata. Salah satu kelompok rakyat jelata yang merasakan hegemoni tersebut adalah masyarakat Betawi. Meski dongeng telah mengalami transformasi di tangan masyarakat Betawi, namun tetap tertinggal jejak-jejak asal dari budaya asal dongeng tersebut, yaitu Melayu. Jejak-jejak asal itu adalah objek dongeng tersebut, yaitu hikayat-hikayat Melayu yang memang bukan merupakan hasil budi dan daya asli masyarakat Melayu, karena hikayat-hikayat tersebut berasal dari budaya masyarakat Persia dan Mesir. Yang tertransformasi hanya pesan moral dalam sempilan konvensi dalam konteks ke-Betawi-an dan media tuturnya yakni bahasa Betawi.
                 Dongeng Betawi lahir pada era Imperialis, atau jika dilihat dari perspektif historis budaya Barat berada pada masa pra-modern. Dalam perspektif ini, Walter Benjamin (Setelah Revolusi Tak Ada Lagi: 430) menyebut hasil seni sebagai seni “auratic”. Seni yang memiliki nimbus (suatu cahaya atau aura). Kesenian-kesenian di masa itu merupakan produk khusus yang istimewa, dan hanya kalangan tertentu yang dapat menikmatinya saja. Setelah tidak hanya kalangan tertentu saja yang menikmatinya seni ini diidentifikasikan sebagai seni massa, dan oleh Benjamin di sebut seni “post-auratic”. Di masa inilah perkembangan teater tradisi Dongeng Betawi mengalami puncak kemasyurannya, karena masyarakat menganggap hasil budaya berupa seni ini memiliki aura yang istimewa sehingga mereka (masyarakat) sangat menjunjung tinggi dan mempertahankannya.   Setelah pesatnya perkembangan seni tutur ini di kalangan masyarakat ramai (rakyar jelata), saat memasuki zaman modern (yang ditandai dengan lahirnya zaman reneisance), teater tradisi Dongeng Betawi tidak memiliki daya pikat yang sama dengan apa yang dipahami pada zaman pra-modern (zaman auratik-nya Benjamin). Terjadinya pergeseran nilai di dalam pemahaman seni. Zaman modern yang oleh Karl Marx diberi label kapital (Kapitalis) ini telah mengubah esensi hasil budi dan daya menjadi suatu komoditi komersil, menyebabkan seni massa itu terkemas dalam bentuk “menarik” untuk “dijual” dan seni ini disebut seni populer. Perbedaan seni massa dan seni populer terletak pada masyarakat pegiatnya. Seni massa adalah seni atau hasil budi dan daya yang berada pada konvensi suatu masyarakat pegiat tertentu. Sedangkan seni populer masyarakat pegiatnya tidak terikat pada suatu golongan tertentu di suatu wilayah tertentu atau dapat dikatakan masyarakat universal. Di masa yang tidak memiliki keistimewaan non-universal ini bisa dikategorikan sebagai masa “post-auratic”. Yang karena memenuhi unsur budaya universal dan dapat dinikmati oleh khalayak ramai (masyarakat di mana saja) maka seni populer menjadi komoditi yang memiliki nilai jual industri. Oleh sebab itulah dapat dikatakan era modern (kapitalis) mendapatkan julukan era industrialisasi.
                Pada era industrialisasi ini pamor teater tradisi (Dongeng Betawi), yang memang kental dengan esensi kelokalitasan wilayah tertentu dan kelompok masyarakat tertentu, menurun dan terpinggir karena didesak oleh seni teater modern (seni teater industri). Teater industri yang memang hidup dan bergerak untuk kepentingan suatu golongan (pemodal ataupun pengelola) dan telah menjadikannya profesi, bukan tradisi atau untuk kepentingan rohani. Di Indonesia ada dua kelompok besar teater modern, yaitu Miss Riboet Orion dan Dardanella, yang merombak beberapa tradisi di masa seni teater sebelumnya seperti stambul (tradisi yang berkembang di Belanda), opera (berkembang di Inggris), dan terlebih pada teater tradisi Indonesia (salah satunya Dongeng Betawi) yang mengganti objek cerita yang berupa hikayat-hikayat dengan cerita-cerita asli (yang memang terjadi dan pernah terjadi di Indonesia atau kisah-kisah yang tidak asing dalam kehidupan masyarakatnya) (Oemarjati, 1971; 30-31).
                Terpinggirnya teater tradisi Dongeng Betawi karena kemunculan teater modern di Indonesia, sehingga membuat para pegiat seni massa ini bergerak untuk tetap dinamis mengikuti perkembangan zaman ini dengan memasukkan unsur kekinian di masanya dalam setiap suguhan. Pergerakan ini terlihat dari seletukan (spontanitas si pelaku Dongeng Betawi dalam mengaitkan konteks isi hikayat yang diceritakan dengan konteks sehari-hari, seperti masalah rumah tangga, isu politik, dan pembangunan negara) yang tentunya dibawakan dengan bentuk jenaka dan penuh unsur humor di dalamnya. Walaupun sudah bergerak dinamis, tetap saja teater tradisi Dongeng Betawi ini semakin tersudut ketika budaya populer Barat lainnya yang masuk dalam ranah kesenian Indonesia, yaitu seni perfilman.
Seni film ini pun memukul mundur seni teater modern Indonesia, karena memang teknologi yang dipakai lebih canggih dibanding bentuk seni yang masih memiliki unsur hegemoni masa auratik. Perkembangan seni film industrialisasi ini pun masih terus berkembang lebih cepat dibanding dengan teater modern Indonesia, terlebih lagi teater tradisi Dongeng Betawi, di era terkini yang merupakan  era globalisasi. Di era pra-modern (auratik) terbatas pada kuantitas dan hanya digeluti-digemari oleh masyarakat tertentu dengan konvensi yang dimilikinya, dan era modern (industrialisasi) meski kuantitasnya banyak atau dapat dikatakan populer tetap saja terbentur pada jarak dan waktu. Sedangkan era globalisasi jarak dan waktu sudah tidak perlu diperhitungkan lagi. Contoh yang paling dekat dengan masyarakat sekarang adalah film box office atau film luar negeri yang dapat menyentuh daerah-daerah di pelosok bumi karena adanya bioskop-bioskop di seluruh negara di dunia. Waktu pun tidak membutuhkan hitungan tahun, bulan, atau malah minggu dalam penyebarannya, bisa dalam satu waktu secara bersamaan film tersebut dapat diputar dan dinikmati oleh orang-orang di seluruh dunia. Teater modern dan teater tradisi hanya bisa termangu pilu melihat lesat arus penyebaran seni film, atau mungkin tertinggal beberapa putaran dalam maraton kebudayaan.
Timbul-tenggelam teater tradisi memang telah terjadi di bumi kita ini. Hal-hal di atas adalah ciri alamiah dari terabaikannya teater tradisi. Selain ciri alamiah tersebut ada pula kelalaian manusia pegiatnya, walau masih ada usaha untuk melestarikannya, karena tidak memfasilitasi kehidupan teater tradisi ini. Lebih banyak bioskop ketimbang gedung kesenian. Jadi pantaslah timbul-tenggelamnya teater tradisi di bumi yang tidak perduli pada budaya. Mengutip slogan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno: “JAS MERAH (JANGAN SEKALI-SEKALI LUPAKAN SEJARAH)”. Budaya merupakan sejarah dan teater tradisi bagian dari budaya.


Cempaka Baru, 07 Oktober 2010 

Posting Komentar

mohon diapresiasi..

Copyright © Jemari-Jerami. Designed by OddThemes